Pertanyaan tentang bagaimana menafsirkan Alkitab sering muncul dalam percakapan iman, terutama ketika ayat-ayat tertentu tampak membingungkan, keras, atau simbolik. Salah satu pertanyaan umum yang sering dilontarkan adalah: “Haruskah kita menafsirkan Alkitab secara harfiah?”
Jawabannya tidak sesederhana “ya” atau “tidak”, karena Alkitab ditulis dalam berbagai gaya bahasa dan konteks yang berbeda. Menafsirkan Alkitab dengan bijaksana bukan hanya soal membaca kata per kata secara kaku, tapi juga memahami apa maksud asli dari penulis, konteks sejarahnya, serta bagaimana Roh Kudus menerangi makna bagi kita hari ini.
1. Apa Arti Menafsirkan Secara Harfiah?
Menafsirkan secara harfiah berarti membaca teks apa adanya, sesuai arti biasa dari kata-kata tersebut. Misalnya, jika dikatakan “Yesus berjalan di atas air,” maka kita percaya itu benar-benar terjadi secara fisik (Matius 14:25).
Namun, Alkitab juga mengandung banyak bagian simbolis, puitis, dan alegoris. Jadi jika kita membaca Mazmur 91:4: “Dengan kepak-Nya Ia akan menudungi engkau, di bawah sayap-Nya engkau akan berlindung”, itu tidak berarti Tuhan benar-benar punya sayap seperti burung. Ini adalah bahasa kiasan untuk menggambarkan perlindungan Tuhan.
2. Alkitab Ditulis dalam Banyak Gaya Bahasa
Alkitab terdiri dari narasi sejarah, hukum, nubuat, puisi, surat pribadi, dan apokaliptik (nubuatan simbolis). Setiap jenis penulisan ini punya cara baca yang berbeda.
“Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan, dan untuk mendidik orang dalam kebenaran.” (2 Timotius 3:16)
Firman Tuhan bersifat ilahi, tapi juga ditulis dalam konteks budaya dan bahasa manusia. Karena itu, pemahaman akan genre dan latar belakang sangat membantu kita memahami maksud Tuhan secara utuh.
3. Yesus Sendiri Menggunakan Banyak Kiasan
Yesus kerap berbicara dalam perumpamaan. Contohnya, ketika Ia berkata:
“Akulah pintu; barangsiapa masuk melalui Aku, ia akan selamat.” (Yohanes 10:9)
Tentunya Yesus tidak sedang mengatakan bahwa tubuh-Nya adalah pintu kayu. Ia sedang memakai simbol untuk menyampaikan bahwa hanya melalui Dia, manusia bisa masuk ke dalam keselamatan.
4. Bagian Mana yang Harus Harfiah, dan Mana yang Simbolik?
Kuncinya ada pada konteks dan tujuan penulis. Contoh: penciptaan dalam Kejadian 1 bisa dimengerti sebagai pernyataan kuasa dan tatanan Tuhan dalam mencipta, bukan semata urutan teknis. Kitab Wahyu penuh dengan lambang: angka, binatang, mahkota, dan sebagainya, yang harus dibaca sebagai simbol, bukan peristiwa harfiah.
Namun, ajaran dasar iman seperti kematian dan kebangkitan Yesus adalah realitas sejarah yang dipahami secara harfiah dan literal, karena menjadi dasar keselamatan kita (1 Korintus 15:3-4).
5. Menyeimbangkan Kebenaran dan Kerendahan Hati
Dalam menafsirkan Alkitab, kita perlu menggabungkan iman, akal sehat, dan tuntunan Roh Kudus. Kita tidak boleh semata bertumpu pada tafsir harfiah dan mengabaikan konteks, tapi juga tidak boleh sembarangan mengubah arti ayat demi kenyamanan pribadi.
“Bukalah mataku, supaya aku memandang keajaiban-keajaiban dari Taurat-Mu.” (Mazmur 119:18)
Tafsir Alkitab bukan sekadar soal otak, tapi juga soal hati yang tunduk dan mau diajar. Ketika kita datang kepada Firman dengan sikap rendah hati, Tuhan akan memampukan kita memahami apa yang ingin Dia sampaikan.
Penutup: Harfiah atau Tidak? Tergantung, Tapi Selalu Dalam Roh Kebenaran
Jadi, apakah Alkitab harus ditafsirkan secara harfiah? Jawabannya: ada bagian yang harus ditafsirkan harfiah, ada yang harus dipahami sebagai simbol atau perumpamaan, dan semua itu harus dilihat dalam terang konteks, jenis tulisan, serta pesan inti dari keseluruhan Alkitab.
Yang paling penting bukan metode tafsir mana yang kita pakai, tapi apakah kita benar-benar mencari kebenaran Tuhan dengan rendah hati, dan apakah kita hidup dalam kebenaran itu. Sebab Firman Tuhan bukan hanya untuk diketahui, tapi untuk dijalani.